Ada Hotel Angker di Solo, Dulu Tempat Tentara Jepang Saling Bunuh

Hotel Cakra di Solo kondang angker. Hotel yang telah lama terbengkalai ini sempat jadi wilayah tentara Jepang saling membunuh. Hotel Cakra terdapat di Jalan Slamet Riyadi, Kemlayan, Solo. Sebelum jadi hotel, area ini merupakan markas Kempetai atau Polisi Militer. Di wilayah itulah, terjadi pertempuran penyerahan kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang kepada pemerintah Indonesia di Solo, disini kami juga akan membahas tentang permainan dari situs online di link https://wisatakampungblekok.com/.

Awalnya, Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Solo, Mr BPH Soemodiningrat memimpin delegasi Indonesia untuk bertemu dengan Kepala Pemerintahan Sipil Jepang Watanabe. Pertemuan tersebut terjadi lancar.

“Watanabe dengan sukarela menyerahkan pemerintahan sipil di Surakarta kepada Indonesia,” ungkap KRMAP L Nuky Mahendranata Adiningrat, pemerhati peristiwa dan budaya Solo.

Begitu pula dengan Suyatno Yosodipuro, tokoh pemuda yang memimpin delegasi untuk bertemu Komandan Garnisun Kota Solo, Letnan Kolonel T Mase pada 4-5 Oktober 1945. Dalam pertemuan itu, Suyatno sukses menegaskan komandan tentara Jepang untuk menyerahkan kekuasaan militer agar tidak terjadi pertumpahan darah. Namun, pihak Kempetai (Polisi Militer) yang tidak berada di bawah Letkol T Mase menampik untuk menyerah.

Baca juga:

Rekomendasi Destinasi Wisata Banten yang Wajib Dikunjungi

Cara Sederhana agar Lebih Hemat saat Liburan

“Komandan Kempetai, Kapten Sato menampik menyerah, gara-gara belum ada perintah langsung dari Tenno Heika (Yang Mulia Kaisar Jepang). Sikap Kapten Sato ini lah yang membawa dampak pengepungan dan pertempuran di area Kemlayan pada 12 Oktober 1945,” sadar Kanjeng Nuky, sapaan akrabnya.

Markas Kempetai, yang sekarang bekas Hotel Cakra itu pun diserang. Menurut Kanjeng Nuky, yang mengutip sumber-sumber lain, pada era itu banyak ditemukan mayat serdadu Jepang yang ditembak di kepala oleh teman-temannya sendiri.

“Aksi Harakiri meninggalkan jejak mistis di bagian-bagian hotel Cakra yang hingga sementara ini kosong tak berpenghuni dan dijadikan tempat tinggal hantu untuk keperluan komersil,” imbuhnya.

Saat itu, tentara Jepang memilih untuk saling menembak kepala masing-masing. Menurut Kanjeng Nuky, para tentara Jepang lebih memilih mati daripada menyerahkan kekuasaan ke Indonesia.

“Di kolam renang itu, dulu dipakai untuk pemakaman atau pemenggalan kepala. Makanya kala dipakai Hotel Cakra, itu dulu banyak kejadian, diketuk pintu kamarnya konsisten dikasih kepala. Makanya, itu jadi angker hotelnya,” kisah Kanjeng Nuky.